Mencari Pencuri Anak
Perawan
Oleh Suman Hs.Syah dan pada keesokan harinya, fajar mulai
menyingsing dan lautan
masih kabut kelabu putih. Maka nampaklah pada bekas sampan
yang dua
buah semalam, sebuah kici besar bertiang dua. Sungguhpun
hari masih kelam
anak kici ini sudah bangun dan berkeliaran belaka. Mereka
asyik
membersihkan kici itu. Kurung dan geladak sudah bersih,
perkakas-perkakas
teratur pula. Tempat siapakah yang dipersiapkan oleh mereka
itu atau kadar
hendak menunjukkan kasih sayangnya kepada “Seri Bulan” kici
yang sudah
separuh umur itu? Dengan demikian jadilah Seri Bulan
bertambah muda dan
ia pun menegun pada tali sauhnya, amat hebat nampaknya.
Sejam berjalan sudah.
Cahaya Samsu mulai membayang. Kuning merah seribu warna
telah
terbentang di kaki langit. Indah di pandang, molek ditengok.
Laksana dewi
turun bersiram. Dalam pelukan keindahan alam yang lengang
merayukan
itu, maka kelihatan sebuah perahu keluar dari muara menuju
Seri Bulan.
Dalam perahu itu duduk seorang perempuan , dua orang
laki-laki dan adalah
pula dua orang mendayungkan perahu itu. Setelah perahu itu
mendekati maka awak Seri Bulan
menurunkan tangan dan sebentar lagi naiklah ketiga musafir itu ke atas geladak.
Segala barang - barang dan bekal-bekalan dinaikkan belaka lalu dimasukkan ke
dalam kurung. Sesudah tukang dayung tadi mengucapkan selamat jalan, Seri Bulan
pun membongkar sauh. Layar ditarik dan ketika itu juga
berlayarlah ia dengan
amannya. Maka berserulah Sir Joon kepada pelayannya
itu,”Tan, Sediakanlah
makanan kami, perutku lapar amat. Barang-barang ini biarlah
aku kemaskan.”
Pelayan yang setia itu tersenyum. “Sekarang Tuan tentu sudah
dapat
menolong saya,” katanya. “Bukankah tadi pagi tuan yang patah
itu sudah
sembuh?” Anak muda itu tertawa-tawa.”Engkau nakal amat,”
katanya. Dalam pada
itu ia menjeling si Nona yang duduk di sisinya itu. Anak
gadis itu menjeling
kekasihnya maka katanya,”Engkau berhutang budi kepada pelayan itu.”
Kedua asyik dan mahsyuk itu berpandang-pandangan. Dari kilat
mata
keduanya memancarlah sinar kasih dan cinta yang tulus
ikhlas. Yang tak
mungkin putus begitu saja, selagi hayat dikandung badan.
Itulah bahagia
berkasih sayang. Dua belas jam lalu pula. Sang suria hampir maherat, terik samsu berubah
sudah. Tadi membakar sangat, kini reda menglipur lara. Dewasa itu duduklah Sir
Joon dengan si Nona di atas sebuah bangku-bangku di buritan Seri Bulan yang
dengan tenaga layarnya menyibak air. Kedua kasih mengasih dan cinta mencintai
itu lengah memandang tabir samsu aneka warna.
“Sekarang dapatlah engkau agaknya menceritakan sekalian tipu
muslihatmu itu kepadaku Joon,” ujar gadis itu dengan
senyumnya. Atau
belumkah lagi engkau menaruh kelapanagan?” “Sudah lebih dari
kelapangan, masnisku,” jawab yang ditanya. “Bukankah engkau sudah kusimpan
dalam kalbuku?”
Anak gadis itu melengus. “Kuncilah pintunya erat-erat,”
katanya, “Supaya
jangan ia dicuri orang pula.” “Agaknya pekerjaan kita itu
tidak demikian langsugnya,” demikian Sir Joon memulai ceritanya kepada pencuri
hatinya itu,”Jika orang putih kapal perang itu
tidak langsung mengajak kami beradu bola. Mulanya aku kuatir,
kalau-kalau permainan itu diurungkan saja, karena hari
hujan. Mujurlah juga
keesokan harinya permainan itu menjadi juga. Sebenarnya
sedikit pun aku
tidak disinggung oleh orang putih itu; tetapi aku dapat
menjatuhkan diriku
tengah orang bergelut amat, hingga tak seorang punmenyangka
perbuatan
itu aku sengajakan. Bahkan kebanyakan orang cemas,
kalau-kalau aku mati
di situ jua. Ada
juga aku berniat sehari sebelum itu menimpang-nimpangkan
kaki dengan mengatakan aku jatuh waktu memanjat, tetapi
kemudian terpikir
pula, kalau-kalau orang banyak kurang percaya akan kataku
itu karena orang
tak ada yang melihat. Maksud itu aku urungkan dan
menjatuhkan diri dalam
gelanggang permainan itulah yang kulakukan. Lebih aman
rasanya, kerana
beratus, ya, hampir beribu orang menyaksikan aku separuh
mati itu. Dengan
demikian tiadalah seorang manusia boleh menyangka dalam dua
atau tiga
hari aku dapat sembuh benar.” “Kalau begitu engkau lebih
nakal daripada pelayan itu,” ujar si
Nona. Lengan anak muda itu dicubitnya kuat-kuat. Cubit yang serupa itulah
agaknya yang dikatakan orang kini cubit geram, yaitu siksaan yang memberikan
kesenangan. “Yang sangat kukuatirkan,” ujar Sir Joon menyambung ceritanya,”
ialah malam aku melarikan engkau itu.
Aku takut kalau-kalau pelayan itu masuk langsung ke kamar tidurku, kerana
sebagai engkau ketahui juga, dia tak
berbeda dengan engkau yaitu sama-sama kasih padaku.” Si Nona
menggigit bibirnya, Sekali lagi ia mencubit kekasihnya itu. “Tetapi untunglah
ia tak langsung masuk ke dalam kamar itu, kadar mengintai dari pintu sahaja.
Dan dari situ nampaklah kepadanya di atas tempat tidur Sir Joon buatan, yaitu
dua buah bantal guling aku selubungi
dengan selimut. Jika dipandang dari jauh, tak ubah seperti manusia yang
tidur berselubung. Kalau
diketahui yang terguling itu
bukan Sir Joon, niscaya
ia keluar mencari-cari serupa itu niscaya batallah niat kita
ini.”
Cendrawasih ini tersenyum simpul. “Engkau cerdik
sekali,” katanya mabuk kesiangan. “Paginya
pun aku bimbang pula, yaitu ketika si Tan mengabarkan
pendengaran dan penglihatannya malam itu kepada empat lima orang kawan-
kawanku. Untunglah cerita itu tak masuk ke dalam akal yang
mendengarnya.
Dan dia pun lekas pula sesatan.” “Kukatakan itu angan-angan
belaka. Yang nampak olehnya hanya bayangan badanku, bukan Sir Joon yang sejati.
Heran aku mengapa sebentar itu juga aku mendapat petunjuk akan meragukan
pelayan itu.”
“Mengapa engkau tak mufakat terlebih dahulu dengan pelayan
itu,
supaya ia jangan salah raba?” ujar Nona, merasa dirinya
lebih pandai sedikit
dari orang yang di sisinya itu. 4.Tulislah naskah drama berdasarkan kutipan cerpen
berikut ini!
...
Karena terlambat kurang dari lima menit dan masuk dengan wajah yang
terlihat murung, Pak Satpam membiarkan saja dia lansung
masuk ke kelas.
Dia pasrah saja kalau nanti teman-temannya menjelek-jelekkan
klub sepak
bola yang selama ini dibangga-banggakannya. Dia menarik
nafas panjang sebelum akhirnya masuk ke dalam kelas. “Selamat ya Ko!!” kata
seorang temannya.
Dengan perasaan kaget dan sedikit tak percaya, Niko langsung
menuju
ke bangkunya. Sesaat kemudian, Ibu guru yang sedari tadi
diam pun
menghanpirinya. “Ujian matematikamu dapat nilai sepuluh.
Kamu meraih nilai ujian
terbaik di antara seluruh murid kelas dua dan
direkomendasikan untuk
mengikuti olimpiade matematika se-Jawa Timur,” kata bu guru.
Niko pun seakan tak percaya. Dia menjadi sadar bahwa hal
inilah yang
harusnya dibangga-banggakannya di hadapan orang tua dan
teman-
temannya, bukan Manchester United. Itulah seorang Niko
Pramono. Seperti bentuk huruf terakhir dari namanya, dia bertubuh gendut,
berpipi tembem, dan berperut tambun. Agak kurang proporsional untuk menjadi
pemain sepak bola.
Selain suka minum susu, dia hobi makan dan tidur, dua hal yang
mungkin
sangat bertolak belakang dari keseharian pemain sepak bola.
Tak apalah dia
tidak mendapatkan kostum nomor sepuluh di skuad Manchester
United.
Mendapat nilai sepuluh di ujian matematika sudah cukup
baginya.
“Ko, jagoanmu kalah ya!” tiba-tiba salah seorang teman
laki-laki berteriak padanya.
Penulis adalah mahasiswa ITS, Surabaya. Jawa Pos, Senin, 24 Sept 2007,