Laman

Saturday, March 3, 2012

Mencari Pencuri Anak Perawan

Mencari Pencuri Anak Perawan

Oleh Suman Hs.Syah dan pada keesokan harinya, fajar mulai menyingsing dan lautan
masih kabut kelabu putih. Maka nampaklah pada bekas sampan yang dua
buah semalam, sebuah kici besar bertiang dua. Sungguhpun hari masih kelam
anak kici ini sudah bangun dan berkeliaran belaka. Mereka asyik
membersihkan kici itu. Kurung dan geladak sudah bersih, perkakas-perkakas
teratur pula. Tempat siapakah yang dipersiapkan oleh mereka itu atau kadar
hendak menunjukkan kasih sayangnya kepada “Seri Bulan” kici yang sudah
separuh umur itu? Dengan demikian jadilah Seri Bulan bertambah muda dan
ia pun menegun pada tali sauhnya, amat hebat nampaknya. Sejam berjalan sudah.
Cahaya Samsu mulai membayang. Kuning merah seribu warna telah
terbentang di kaki langit. Indah di pandang, molek ditengok. Laksana dewi
turun bersiram. Dalam pelukan keindahan alam yang lengang merayukan
itu, maka kelihatan sebuah perahu keluar dari muara menuju Seri Bulan.
Dalam perahu itu duduk seorang perempuan , dua orang laki-laki dan adalah
pula dua orang mendayungkan perahu itu. Setelah perahu itu mendekati  maka awak Seri Bulan menurunkan tangan dan sebentar lagi naiklah ketiga musafir itu ke atas geladak. Segala barang - barang dan bekal-bekalan dinaikkan belaka lalu dimasukkan ke dalam kurung. Sesudah tukang dayung tadi mengucapkan selamat  jalan, Seri Bulan
pun membongkar sauh. Layar ditarik dan ketika itu juga berlayarlah ia dengan
amannya. Maka berserulah Sir Joon kepada pelayannya itu,”Tan, Sediakanlah
makanan kami, perutku lapar amat. Barang-barang ini biarlah aku kemaskan.”
Pelayan yang setia itu tersenyum. “Sekarang Tuan tentu sudah dapat
menolong saya,” katanya. “Bukankah tadi pagi tuan yang patah itu sudah
sembuh?” Anak muda itu tertawa-tawa.”Engkau nakal amat,” katanya. Dalam pada
itu ia menjeling si Nona yang duduk di sisinya itu. Anak gadis itu menjeling
kekasihnya maka katanya,”Engkau berhutang budi  kepada pelayan itu.”
Kedua asyik dan mahsyuk itu berpandang-pandangan. Dari kilat mata
keduanya memancarlah sinar kasih dan cinta yang tulus ikhlas. Yang tak
mungkin putus begitu saja, selagi hayat dikandung badan. Itulah bahagia
berkasih sayang. Dua belas jam lalu pula. Sang  suria hampir maherat, terik samsu berubah sudah. Tadi membakar sangat, kini reda menglipur lara. Dewasa itu duduklah Sir Joon dengan si Nona di atas sebuah bangku-bangku di buritan Seri Bulan yang dengan tenaga layarnya menyibak air. Kedua kasih mengasih dan cinta mencintai itu lengah memandang tabir samsu aneka warna.
“Sekarang dapatlah engkau agaknya menceritakan sekalian tipu
muslihatmu itu kepadaku Joon,” ujar gadis itu dengan senyumnya. Atau
belumkah lagi engkau menaruh kelapanagan?” “Sudah lebih dari kelapangan, masnisku,” jawab yang ditanya. “Bukankah engkau sudah kusimpan dalam kalbuku?”
Anak gadis itu melengus. “Kuncilah pintunya erat-erat,” katanya, “Supaya
jangan ia dicuri orang pula.” “Agaknya pekerjaan kita itu tidak demikian langsugnya,” demikian Sir Joon memulai ceritanya kepada pencuri hatinya itu,”Jika orang putih kapal perang itu  tidak langsung mengajak kami beradu bola. Mulanya aku kuatir,
kalau-kalau permainan itu diurungkan saja, karena hari hujan. Mujurlah juga
keesokan harinya permainan itu menjadi juga. Sebenarnya sedikit pun aku
tidak disinggung oleh orang putih itu; tetapi aku dapat menjatuhkan diriku
tengah orang bergelut amat, hingga tak seorang punmenyangka perbuatan
itu aku sengajakan. Bahkan kebanyakan orang cemas, kalau-kalau aku mati
di situ jua. Ada juga aku berniat sehari sebelum itu menimpang-nimpangkan
kaki dengan mengatakan aku jatuh waktu memanjat, tetapi kemudian terpikir
pula, kalau-kalau orang banyak kurang percaya akan kataku itu karena orang
tak ada yang melihat. Maksud itu aku urungkan dan menjatuhkan diri dalam
gelanggang permainan itulah yang kulakukan. Lebih aman rasanya, kerana
beratus, ya, hampir beribu orang menyaksikan aku separuh mati itu. Dengan
demikian tiadalah seorang manusia boleh menyangka dalam dua atau tiga
hari aku dapat sembuh benar.” “Kalau begitu engkau lebih nakal daripada pelayan itu,”  ujar si Nona. Lengan anak muda itu dicubitnya kuat-kuat. Cubit yang serupa itulah agaknya yang dikatakan orang kini cubit geram, yaitu siksaan yang memberikan kesenangan. “Yang sangat kukuatirkan,” ujar Sir Joon menyambung ceritanya,” ialah malam aku melarikan  engkau itu. Aku takut kalau-kalau pelayan itu masuk langsung ke kamar tidurku, kerana sebagai engkau ketahui juga, dia tak
berbeda dengan engkau yaitu sama-sama kasih padaku.” Si Nona menggigit bibirnya, Sekali lagi ia mencubit kekasihnya itu. “Tetapi untunglah ia tak langsung masuk ke dalam kamar itu, kadar mengintai dari pintu sahaja. Dan dari situ nampaklah kepadanya di atas tempat tidur Sir Joon buatan, yaitu dua buah bantal guling  aku selubungi dengan selimut. Jika dipandang dari jauh, tak ubah seperti manusia yang
tidur berselubung. Kalau  diketahui yang terguling  itu bukan Sir Joon, niscaya
ia keluar mencari-cari serupa itu niscaya batallah niat kita ini.”
Cendrawasih ini tersenyum simpul. “Engkau cerdik sekali,”  katanya mabuk kesiangan. “Paginya pun aku bimbang pula, yaitu ketika si Tan mengabarkan
pendengaran dan penglihatannya malam itu kepada empat lima orang kawan-
kawanku. Untunglah cerita itu tak masuk ke dalam akal yang mendengarnya.
Dan dia pun lekas pula sesatan.” “Kukatakan itu angan-angan belaka. Yang nampak olehnya hanya bayangan badanku, bukan Sir Joon yang sejati. Heran aku mengapa sebentar itu juga aku mendapat petunjuk akan meragukan pelayan itu.”
“Mengapa engkau tak mufakat terlebih dahulu dengan pelayan itu,
supaya ia jangan salah raba?” ujar Nona, merasa dirinya lebih pandai sedikit
dari orang yang di sisinya itu. 4.Tulislah  naskah drama berdasarkan kutipan cerpen berikut ini!
...
Karena terlambat kurang dari lima menit dan masuk dengan wajah yang
terlihat murung, Pak Satpam membiarkan saja dia lansung masuk ke kelas.
Dia pasrah saja kalau nanti teman-temannya menjelek-jelekkan klub sepak
bola yang selama ini dibangga-banggakannya. Dia menarik nafas panjang sebelum akhirnya masuk ke dalam kelas. “Selamat ya Ko!!” kata seorang temannya.
Dengan perasaan kaget dan sedikit tak percaya, Niko langsung menuju
ke bangkunya. Sesaat kemudian, Ibu guru yang sedari tadi diam pun
menghanpirinya. “Ujian matematikamu dapat nilai sepuluh. Kamu meraih nilai ujian
terbaik di antara seluruh murid kelas dua dan direkomendasikan untuk
mengikuti olimpiade matematika se-Jawa Timur,” kata bu guru.
Niko pun seakan tak percaya. Dia menjadi sadar bahwa hal inilah yang
harusnya dibangga-banggakannya di hadapan orang tua dan teman-
temannya, bukan Manchester United. Itulah seorang Niko Pramono. Seperti bentuk huruf terakhir dari namanya, dia bertubuh gendut, berpipi tembem, dan berperut tambun. Agak kurang proporsional untuk menjadi pemain sepak bola.
Selain suka minum susu, dia hobi makan dan tidur, dua hal yang mungkin
sangat bertolak belakang dari keseharian pemain sepak bola. Tak apalah dia
tidak mendapatkan kostum nomor sepuluh di skuad Manchester United.
Mendapat nilai sepuluh di ujian matematika sudah cukup baginya.
“Ko, jagoanmu kalah ya!” tiba-tiba salah seorang teman laki-laki berteriak padanya.
Penulis adalah mahasiswa ITS, Surabaya. Jawa Pos, Senin, 24 Sept 2007,